Hai orang-orang yang beriman, jagnanlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan perihalaran dirimu dari api neraka yang disediakan untuk orang-orang kafir. Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. (Q.S 3 Ali ‘Imran: 130-132)

 

Larangan memakan riba dalam ayat ini merupakan pengulangan dari larangan yang sama dalam surah al-Baqarah ayat 275-277. Pengulangan ini menunjukkan bahwa riba adalah perbuatan yang sangat keras dilarang dalam ajaran Islam.

Asbabun Nuzul Surat Ali-Imran Ayat 130

Diriwayatkan oleh al-Faryabi yang bersumber dari ‘Atha, bahwa di zaman jahiliyah Tsaqif berutang kepada Bani Nadlir. Ketika tiba waktu membayar, Tsaqif berkata, “Kami bayar bunga dan undurkan waktu pembayaran”. Maka setelah Islam datang, turunlah ayat 130 surah Ali ‘Imran, sebagai larangan terhadap perbuatan riba.

 

Pengertian Riba

Sejarah mencatat bahwa orang-orang Arab mengenal riba dari kaum Yahudi yang banyak tinggal di Madinah. Sebelum Islam datang, orang-orang Yahudi biasa melakukan riba dengan bunga berkisar 40 hingga 100 persen.

Secara sederhana pengertian riba adalah kegiatan meminjamkan uang dengan mengenakan bunga pada pembayarannya. Kata riba dalam al-Qur’an ditemukan sebanyak tujuh kali, yaitu pada surah al-Baqarah ayat 275, 276, 278, dan 279; surah ar-Rum ayat 39; surah an-Nisa’ ayat 161 dan surah Ali ‘Imran ayat 130.

 

Kandungan Ayat

Tiga ayat surah Ali ‘Imran di atas memiliki dua dimensi petunjuk. Dimensi pertama, berupa ancaman yang diwujudkan dengan larangan Allah kepada orang-orang yang beriman agar tidak memakan harta dari hasil riba, serta perintah untuk menjauhi api neraka yang disediakan untuk orang-orang kafir. Dimensi kedua, kabar gembira yang diwujudkan dengan janji Allah berupa keberuntungan bagi orang-orang yang bertakwa yang meninggalkan perbuatan riba. Dua dimensi tersebut mempunyai korelasi satu sama lain.

Dalam al-Qur’an, berulang kali Allah SWT. memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk banyak berinfak. Perintah berinfak hanya ditunjukkan bagi mereka yang memiliki kelapangan rizki dari Allah. Akan tetapi perintah ini menjadi gugur manakala harta yang hendak diinfakkan diperoleh melalui jalan yang haram, seperti riba.

Riba secara sekilas, tampak seperti peluang usaha yang amat menjanjikan. Modal yang sedikit, dalam tempo singkat bisa berkembanga menjadi berlipat-lipat. Namun di sisi lain, riba sebenarnya justru menambah beban bagi orang yang sudah dibebani utang. Allah SWT. telah menetapkan haramnya riba dan haramnya mencari rizki dengan cara riba. Untuk itu, kaum Muslimin hendaknya sadar bahwa mencari harta dari jalan yang halal sambil terus bertawakkal kepada Allah, tetap merupakan satu-satunya jalan terbaik yang telah digariskan dalam ajaran Islam.

Istilah berlipat ganda dalam ayat di atas (Q.S 3 ‘Ali ‘Imran: 130) mengacu poada pengertian riba yang pada galibnya memang memiliki sifat berlipat-lipat. Seseorang yang meminjam uang dengan cara riba dan tidak mampu melunasinya, maka semakin lama bunganya semakin besar dan berlipat-lipat. Akhirnya bunga dari pinjamannya menjadi menjadi berbunga, semakin bertambah seiring dengan bertambahnya waktu. Demikianlah, utang yang awalnya tidak banyak mampu menenggelamkan kehidupan seseorang dalam lautan kesengsaraan.

Dalam ayat yang agung ini (Q.S 3 ‘Ali ‘Imran: 130), Allah SWT. memberi petunjuk kepada jalan takwa, jalan yang “seratus delapan puluh derajat” berbeda dari jalan riba. Jalan takwa akan mengantarkan pelakunya pada keuntungan besar tanpa merugikan orang lain. Jalan ini juga membawa pelakunya terhindar dari siksa neraka. Menjauhi riba dan tidak memakan hasilnya adalah satu satu di antara jalan-jalan takwa.

Takwa adalah satu-satunya jalan yang akan membawa pada kebahagiaan. Dengan demikian, maka bertakwa kepada Allah hukumnya wajib karena tidak ada satupun manusia yang tidak menginginkan kebahagiaan. Jika takwa merupakan satu-satunya jalan menuju kebahagiaan, maka jalan yang berseberangan dengannya pasti akan membawa pelakunya menuju kesengasaraan. Perbuatan yang berseberangan dengan jalan takwa selalu bergelimang dosa dan kesalahan, karena itu menyebabkan kesengsaraan.

Kesengsaraan yang lahir dari perbuatan riba adalah siksa api neraka. Dalam ayat 131, Allah SWT. berfirman, “Dan peliharalah dirimu dari api neraka yang disediakan untuk orang-orang kafir”. Ketika menafsitkan ayat ini, Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy berkata, “Jauhilah dirimu dari mengikuti jejak langkah tukang riba yang membawa kamu ke dalam negara yang disediakan bagi orang-orang kafir”.

Pada ayat terakhir yaitu surah Ali ‘Imran ayat 132, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa menuju rahmat bisa ditempuh dengan cara menaati Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa orang-orang yang memakan harta riba sangat jauh dari harapan untuk memperoleh rahmat Allah. Menurut sebagian ulama ayat yang sedang kita cermati ini adalah ancaman yang menakutkan, karena pada dasarnya manusia sangat membutuhkan Rahmat Allah. Hanya dengan Rahmat Allah-lah, setiap manusia dapat berdiri tegak di muka bumi. Berbekal pengetahuan yang bersumberdari surah Ali ‘Imrah ayat 132, kaum Mukminin akan memperoleh Rahmat Allah melalui proses ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

 

Balasan Bagi Pelaku Riba

Seperti diisyaratkan pada ayat 131, balasan bagi pemakan riba di neraka adalah sama dengan balsan terhadap orang-orang kafir. Allah SWT. mengancam para pelaku riba dengan Azab-Nya berupa api neraka seperti yang disediakan untuk orang-orang kafir. Imam Hanafi pernah berkata, “Ayat ini adalah ayat yang paling saya takuti, sebab Allah mengancam kaum Mukminin dengan ancaman neraka yang disediakan untuk orang kafir”.

Beberapa faktir yang menyebabkan disamakannya hukuman bagi pemakan riba yang dilakukan oleh orang-orang Islam dengan hukuman untuk orang-orang kafir adalah:

  1. Para pemakan riba terhalang dari Ridha Allah, sebagaimana pula orang kafit terhalang dari Ridha Allah. Dengan terhadalanya Ridha Allah maka tidak ada balasan lain yang setimpal kecuali siksa neraka. Seorang Mukmin sejati akan mampu mengangkat segala penghalang tersebut dengan jalan istiqomah memelihara ketaatan serta mematuhi Larangan Allah, termasuk di dalamnya larangan memakan riba.
  2. Secara hakiki, neraka disediakan untuk orang-orang kafir. Namun, tidak tertutup kemungkinan bahwa orang-orang fasik dari kalangan kaum Mukminin yang melakukan riba ikut mengisi neraka.
  3. Pengertian kafit ditinjau dari sisi balasannya di akhirat, terbagi atas:
    1. Kafir mutlak, yaitu manusia yang jelas-jelas secara akidah menolak kebenaran yang datang dari Allah SWT. dan disampaikan oleh Rasul-Nya SAW. Keyakinan mereka betul-betul berada di luar Islam dan memeluk agama selain Islam. Tempat kembali bagi mereka tidak lain adalah siksa pedih api neraka, abadi selamanya.
    2. Kafit nikmat, yaitu orang-orang Islam yang mengotori kesucian imannya dengan melakukan perbuatan maksiat tetapi tidak sampai mengeluatkannya dari Islam (murtad). Para ulama menyebutkan dengan islam kufrun duna kufrin yaitu kekagiran yang belum mencapai derajat kafir mutlak. Mereka inilah yang dinamakan orang-orang fasik. Di antara mereka adalah orang-orang Islam yang melakukan dosa riba. Balsan bagi mereka di akhirat, ditimbang berdasrakan amal baik dan amal buruknya selama di dunia. Oramg Islam yang berat timbangan amal buruknya akan dimasukkan ke dalam neraka kecuali bila ia mendapat Ampunan dari Allah SWT atau atas Izin Allah memperoleh syafaat dari Rasulallah SAW.

Wallahu a’lam

Ya Akkag, berikan kepadaku rizki yang halal dan baik, jauhkanlah mulutku dari memakan harta yang haram dan tidak membawa berkah, serta selamatkanlah diriku dari segala yang Engkau Haramkan. Amiin allhumma Amiin

 

Sumber:

Artikel ini disalin dari 

Buku: AYAT-AYAT LARANGAN DAN PERINTAH DALAM AL-QUR'AN (Pedoman Menuju Akhlak Muslim) Edisi Pertama

Pengarang: Qamaruddin Shaleh, dkk

Penerbit: DIPONEGORO (Bandung)

Halaman: 119-122

Hubungi Kami

Jl. Pasar Belakang Dusun II Hulu Besilam
pesantren@taajussalaam.com

Login